Posted on 28 March 2011.
Masalah Globalisasi Ekonomi
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Keuntungan komparatif, mengandaikan situasi ekonomi di mana aliran modal masih berkisar dalam suatu negara. Dalam situasi ini, aliran modal mendapat kepastian dari negara. Sehingga, apa pun yang terjadi dalam perdagangan antarnegara, spesialisasi suatu negara tidak akan hancur karena kompetisi dengan negara lain. Tetapi, teori keuntungan komparatif mungkin tidak berlaku dalam situasi perdagangan global. Dalam perdagangan global seperti sekarang ini, yang memainkan peranan besar adalah perusahaan multinasional. Perusahaan tersebut memiliki jangkauan yang luas ke seluruh dunia. Aliran modalnya pun mengatasi batas negara. Tentunya, yang hendak diusahakan perusahaan ini adalah keuntungan perusahaan, bukan kepentingan atau keuntungan nasional. Karena itu, pertanyaan paling mendasar yang dapat diajukan sekarang: Mengapa orang percaya bahwa apa yang baik bagi perusahaan baik juga bagi negara?
Perdagangan internasional sekarang sudah tampil sebagai suatu rezim baru yang hanya mengenal satu prinsip, yaitu keuntungan absolut. Hal ini bisa terjadi karena tidak ada kontrol sosial yang berhasil menjatuhkan hukuman bagi perusahaan-perusahaan besar. Bahkan, suatu kontrol yang terlalu kuat dalam suatu negara akan membuat negara tersebut dikucilkan dalam perdagangan internasional. Dalam situasi seperti ini, kita sulit mengharapkan suatu manajemen yang memiliki tanggung jawab sosial; sebaliknya, justru karena kondisi sosial seperti ini, seorang manajer, dengan integritas moral yang tinggi dapat melakukan tindakan eksploitatif. Tanggung jawab sosial perusahaan dapat diabaikan karena motif keuntungan.
Dalam rangka mengejar keuntungan, perusahaan multinasional yang melakukan aliran dana ke seluruh dunia semakin sadar, bahwa mereka sedang menghadapi masalah pasar dunia kerja global, yaitu penawaran yang tak terbatas dari tenaga kerja tidak terampil. Globalisasi tidak hanya memperlancar aliran modal dari negara maju ke negara miskin, tetapi juga memperlancar aliran tenaga kerja tidak terampil dari negara miskin ke negara maju, dengan motif: sekadar untuk mencari kerja dan hidup. Hal ini membawa konsekuensi yang merugikan bagi negara maju. Untuk mempertahankan keuntungan absolut, perusahaan multinasional yang masih beroperasi di negara maju dapat tnenekan gaji karyawan sebagai jaminan keamanan kerja, sebagaimana yang pernah dipraktekkan oleh perusahaan Xerox yang memotong gaji karyawannya sebanyak 30% untuk job security.
Selain itu, perusahaan multinasional, dengan alasan untuk memperoleh keuntungan, dapat dengan mudah meninggalkan suatu negara, tanpa harus memikirkan penggantinya, kemudian menanamkan modalnya di sebuah negara yang ongkos produksinya lebih rendah. Cina, misalnya, dapat dilihat sebagai contoh negara tujuan penanaman modal: selain karena di sana terdapat banyak tenaga kerja murah, juga karena di sana terdapat konsumen potensial dari produk yang dihasilkan perusahaan multinasional. Banyak negara maju mengambil keuntungan, karena mereka dapat mengimpor produk dengan harga murah dari Cina; tetapi hal ini tidak dapat dialami oleh negara miskin, karena daya beli mereka rendah.
Masalah Ekonomi
Selain masalah moral, sebagaimana dijelaskan di atas, para perintis ekonomi sosial yang menaruh minat pada masalah keseimbangan makro-ekonomi, melihat kelemahan lain dari globalisasi ekonomi. Masalah pertama, berkaitan dengan usaha mengurangi ongkos produksi dan kemampuan produksi. Sudah lama Sismondi mengamati bahwa untuk dapat bersaing, perusahaan akan memilih atau mengembangkan mesin untuk meningkatkan kemampuan produksi atau mengurangi ongkos tenaga kerja.
Pilihan paling sederhana yang sering diambil dalam globalisasi ekonomi sekarang ini adalah mengurangi ongkos tenaga kerja. Tetapi, kebijakan ini membawa akibat negatif bagi ekonomi. Karena, ketika perusahaan mengambil jalan untuk memberhentikan karyawan mereka, sebagai jalan untuk menurunkan ongkos produksi, para pekerja akan menganggur atau mencari pekerjaan baru yang upahnya lebih rendah. Sementara itu, perusahaan yang sama, terus meningkatkan kinerjanya dengan menggunakan teknologi baru pengganti tenaga manusia (robot). Secara hipotetis, keuntungan perusahaan tersebut bertambah dan usaha baru pun dapat dibangun lagi. Dari kedua gejala yang terjadi, kita melihat bahwa kemampuan produksi meningkat, sementara itu, kemampuan konsumsi cenderung menurun, karena gaji pekerja rendah. Beberapa kebijakan berikut dapat dipertimbangkan.
1. Setiap negara dianjurkan untuk memiliki kementerian perdagangan internasional (seperti Jepang), yang memiliki wewenang untuk menjamin bahwa keuntungan yang diperoleh perusahaan multinasional tidak menimbulkan biaya sosial masyarakat setempat. Ini mengandaikan bahwa setiap negara, memiliki kemampuan untuk mengadakan negosiasi internasional tentang standar dunia kerja yang lebih adil. Standar tersebut harus ditaati oleh semua pihak yang terlibat dalam pasar dunia. Negara yang tidak menjalankan standar tersebut, dikucilkan dari kemungkinan investasi bare. Sementara itu, pelanggaran terhadap standar internasional tersebut dikenakan sanksi, terutama dikenakan kewajiban membayar tarif sosial, sebagai pembayaran terhadap ongkos manusia dalam proses produksi.
2. Setiap pelaku perdagangan internasional harus juga memiliki tanggung jawab untuk menjamin perdagangan yang seimbang antarnegara. Keseimbangan ini dapat dicapai dengan mekanisme tarif perdagangan. Tarif perdagangan tersebut dapat dimanfaatkan untuk bantuan pembangunan bagi negara yang kurang berkembang, agar negara tersebut menghormati standar dunia kerja yang lebih adil.
3. Menteri perdagangan harus dapat mengadopsi standar konsumsi, yang membantu konsumen dalam menentukan pilihan dengan cara yang lebih etis dan berdasarkan informasi. Langkah pertama yang dapat diambil adalah menciptakan social labelling, di dalamnya terdapat informasi tentang pekerja yang menghasilkan produk tersebut. lnformasi tersebut sekaligus menjadi dasar bagi solidaritas sosial dengan para pekerja yang terlibat dalam proses produksi. Kebijakan ini barangkali dapat dinilai “c”.
Diperlukan Usaha Bersama
Banyak masalah ekonomi modern, dewasa ini, kerap diakibatkan oleh pemisahan antara para pekerja dan pemilik modal. Maka, gagasan profit sharing sering dilihat sebagai suatu langkah strategis untuk mengurangi ketidakseimbangan dan jurang yang terdapat di antara kedua kelompok kepentingan. Suatu bentuk ideal adalah terciptanya suatu perusahaan yang dimiliki oleh para pekerja itu sendiri. Dalam bentuk seperti ini, demokrasi dalam dunia ekonomi dan dalam perusahaan dapat dijamin dengan lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar